BAB I
PENDAHULUAN
1.
Latar Belakang
Dewasa ini Balai Benih Ikan Air Tawar
(BBIAT) telah berhasil memijahkan beberapa jenis ikan ekonomis penting. Namun
demikian keberhasilan dalam pemijahan larva ini tidak diikuti oleh keberhasilan
dalam pengembangan teknologi pemeliharaan larva, yang ditandai dengan tingkat
mortalitas yang masih tinggi. Salah satu penyebab rendahnya SR larva adalah
masih rendahnya penguasaan teknologi penyediaan pakan, khususnya pakan alami.
Cacing sutra atau cacing rambut
merupakan pakan alami yang penting dalam kegiatan pembenihan ikan. Pakan yang
dibutuhkan dalam pembenihan selain dapat memenuhi kebutuhan gizi untuk hidup
dan tumbuh, juga untuk memenuhi kebutuhan pigmen warna dalam tubuh bagi ikan
hias. Syarat pakan tersebut dipenuhi oleh pakan alami cacing sutra, cacing ini
memiliki kandungan protein sampai 57 %. (Priambodo dan Wahyuningsih, 2001).
Secara umum, penggunaan pakan alami untuk budidaya ikan memiliki
keuntungan diantaranya, lebih murah, tidak mudah busuk sehingga dapat mengurangi
pencemaran kualitas air, lebih mendekati pada kebutuhan biologis ikan karena
merupakan jasad hidup dan mempunyai kandungan gizi yang lebih lengkap jika
dibandingkan dengan pakan buatan. Namun ketersediaan pakan alami berupa cacing
sutra masih tergantung pada kondisi alam sehingga dalam waktu – waktu tertentu
sulit diperoleh.
2.
Identifikasi
Masalah
Untuk memacu pertumbuhan
cacing sutra perlu penambahan pakan yang cukup. Cacing sutra membutuhkan suplay
pakan yang mengandung bahan organik tinggi sehingga kebutuhan
pakan bagi cacing sutra terpenuhi.
BAB II
MENGENAL KEHIDUPAN CACING SUTRA (Tubifex sp)
1.1.
Biologi dan Morfologi Cacing Sutra (Tubifex
sp)
Cacing
sutra atau cacing rambut termasuk kedalam kelompok cacing–cacingan (Tubifex sp). Dalam ilmu taksonomi hewan,
cacing sutra digolongkan kedalam kelompok Nematoda. Embel–embel sutra diberikan
karena cacing ini memiliki tubuh yang lunak dan sangat lembut seperti halnya
sutra. Sementara itu julukan cacing rambut diberikan lantaran bentuk tubuhnya
yang panjang dan sangat halus tak bedanya seperti rambut (Khairuman et al., 2008). Cacing sutra (Tubifex sp) dapat diklasifikasikan
sebagai berikut :
Phylum : Annelida
Class : Oligochaeta
Ordo : Haplotaxida
Famili : Tubificidae
Genus : Tubifex
Spesies : Tubifex sp
Secara
umum cacing sutra atau cacing rambut terdiri atas dua lapisan otot yang
membujur dan melingkar sepanjang tubuhnya. Panjangnya 10–30 mm dengan warna
tubuh kemerahan, saluran pencernaannya berupa celah kecil mulai dari mulut
sampai anus. Hal yang sama juga disampaikan oleh Wahyuningsih (2001),
menyatakan Spesies ini mempunyai saluran pencernaan berupa celah kecil mulai
dari mulut sampai anus. Cacing sutra (Tubifex
sp) ini hidup berkoloni bagian
ekornya berada dipermukaan dan berfungsi sebagai alat bernafas dengan cara difusi
langsung dari udara.
Menurut
Pennak (1978), Cacing sutra (Tubifex
sp) tidak mempunyai insang dan bentuk tubuh yang kecil dan tipis.
Karena bentuk tubuhnya kecil dan tipis, pertukaran oksigen dan karbondioksida
sering terjadi pada permukaan tubuhnya yang banyak mengandung pembuluh darah.
Kebanyakan Tubifex membuat tabung pada lumpur di dasar perairan, di mana
bagian akhir posterior tubuhnya menonjol keluar dari tabung bergerak
bolak-balik sambil melambai-lambai secara aktif di dalam air, sehingga terjadi
sirkulasi air dan cacing akan memperoleh oksigen melalui permukaan tubuhnya.
Getaran pada bagian posterior tubuh dari Tubifex dapat membantu fungsi
pernafasan (Wilmoth, 1967). Hal yang sama juga disampaikan oleh (Sugiarti et
al., 2005) bahwa hampir semua oligochaeta bernafas dengan cara difusi melalui
seluruh permukaan tubuh. Hanya beberapa yang bernafas dengan insang. Cacing
sutra ini bisa hidup diperairan yang berkadar oksigen rendah, bahkan beberapa
jenis dapat bertahan dalam kondisi yang tanpa oksigen untuk jangka waktu yang
pendek. Cacing sutra dapat mengeluarkan bagian posteriornya dari tabung, guna
mendapatkan oksigen lebih banyak, apabila kandungan oksigen dalam air sangat
sedikit.
Menurut
Marian dan Pandian (1984), sekitar 90% Tubifex menempati daerah
permukaan hingga kedalaman 4 cm, dengan perincian sebagai berikut : juvenile
(dengan bobot kurang dari 0,1 mg) pada kedalaman 0-2 cm, immature
(0,1-5,0 mg) pada kedalaman 0-4 cm, mature (lebih dari 5 mg) pada
kedalaman 2-4 cm.
1.2. Ekologi Cacing Sutra
(Tubifex sp)
Khairuman
dan Amri (2002), menjelaskan bahwa cacing sutra (Tubifex sp) umumnya ditemukan pada daerah air perbatasan seperti
daerah yang terjadi polusi zat organik secara berat, daerah endapan sedimen dan
perairan oligotropis. Ditambahkan bahwa spesies cacing Tubifex sp ini bisa mentolerir perairan dengan salinitas 10 ppt.
Kemudian oleh Chumaidi (1986), dikatakan bahwa dua faktor yang mendukung
habitat hidup cacing sutra (Tubifex sp)
ialah endapan lumpur dan tumpukan bahan organik yang banyak.
Sedangkan
Departemen Pertanian (1992), menambahkan dari setiap tubuh cacing sutra (Tubifex sp) pada bagian punggung dan
perut kekar serta ujung bercabang dua tanpa rambut. Sementara sifat hidup
cacing sutra (Tubifex sp) menunjukan
organisme dasar yang suka membenamkan diri dalam lumpur seperti benang kusut
dan kepala terkubur serta ekornya melambai-lambai dalam air kemudian bergerak
berputar-putar.
1.3.
Perkembangbiakan Cacing Sutra (Tubifex sp)
Khairuman dan Amri (2002), menyatakan cacing sutra
(Tubifex sp) adalah termasuk
organisme hermaprodit. Pada satu individu organisme ini terdapat 2 (dua) alat
kelamin dan berkembangbiak dengan cara bertelur dari betina yang telah matang
telur. Sedangkan menurut Chumaidi dan Suprapto (1986), telur cacing sutra (Tubifex sp) terjadi didalam kokon yaitu
suatu bangunan berbentuk bangunan bulat telur, panjang 1 mm dan diameter 0,7 mm
yang dihasilkan oleh kelenjar epidermis dari salah satu segmen tubuh yang
disebut kitelum. Tubuhnya sepanjang 1-2 cm, terdiri dari 30-60 segmen
atau ruas. Telur yang ada didalam tubuh mengalami
pembelahan, selanjutnya berkembang membentuk segmen-segmen. Setelah beberapa
hari embrio cacing sutra (Tubifex sp)
akan keluar dari kokon.
Induk yang
dapat menghasilkan kokon dan mengeluarkan telur yang menetas menjadi tubifex
mempunyai usia sekitar 40-45 hari. Jumlah telur dalam setiap kokon berkisar
antara 4-5 butir. Waktu yang dibutuhkan untuk proses perkembangbiakan telur di
dalam kokon sampai menetas menjadi embrio tubifex membutuhkan waktu sekitar
10-12 hari. Daur hidup cacing sutra dari telur, menetas hingga menjadi dewasa
serta mengeluarkan kokon dibutuhkan waktu sekitar 50-57 hari (Gusrina, 2008).
Gambar 1.
Siklus hidup Tubifex sp.
1.4.
Habitat dan Penyebaran Cacing Sutra (tubifex
sp)
Khairuman
et al.,(2008) mengemukakan bahwa habitat dan penyebaran cacing sutra (Tubifex sp) umumnya berada di daerah
tropis. Umumnya berada disaluran air atau kubangan dangkal berlumpur yang
airnya mengalir perlahan, misalnya selokan tempat mengalirnya limbah dan
pemukiman penduduk atau saluran pembuangan limbah peternakan. Selain itu,
cacing sutra juga ditemukan di saluran pembuangan kolam, saluran pembuangan
limbah sumur atau limbah rumah tangga umumnya kaya akan bahan organik karena
bahan organik ini merupakan suplai makanan terbesar bagi cacing sutra (Tubifex sp).
1.5.
Pakan dan kebiasaan Makan Cacing Sutra (Tubifex
sp)
Menurut Pennak (1978),
makanan oligochaeta akuatik sebagian besar terdiri dari ganggang berfilament,
diatom dan detritus berbagai tanaman dan hewan. Sebagian besar oligochaeta
memperoleh makanan dengan menyaring substrat seperti kebiasaan cacing yang
lain. Komponen organik pada substrat ditelan melalui saluran pencernaan. Cacing
ini memperoleh makanan pada kedalaman 2-3 cm dari permukaan substrat. Cacing
sutra mencari makan dengan cara masuk ke dalam sedimen, beberapa sentimeter di
bawah permukaan sedimen dan memilih bahan makanan yang kecil serta lembek
(Morgan, 1980 dalam Isyaturradhiyah, 1992).
Jumlah makanan yang
dikonsumsi sehari-hari oleh cacing
sutra (Tubifex sp) adalah 2-8 kali bobot tubuh (Monakov,
1972). Menurut Pondubnaya dan Sorokin (1961) dalam Monakov (1972) cacing
tersebut hanya makan pada lapisan tipis di bawah permukaan pada kedalaman
2cm-5cm. Dijelaskan pula bahwa pada lapisan tersebut banyak zat-zat makanan
yang tertimbun akibat dekomposisi anaerobik.
Selain makanan,
pertumbuhan populasi cacing sutra juga ditentukan oleh faktor–faktor lain
seperti ruang (tempat) dan lingkungan. Pennak (1978) dalam Febrianti (2004)
menyatakan bahwa tubificidae memperoleh makanan pada kedalaman 2-3 cm dari
permukaan substrat.
BAB III
BUDIDAYA CACING
SUTRA (Tubifex sp)
1.
Media
Pemeliharaan
Budidaya cacing sutra
ini dapat dilakukan di parit beton maupun dikolam. Kolam yang digunakan bisa
berukuran kecil atau besar yang diberi petakan papan didalamnya. Menurut
Priyambodo dan Wahyuningsih (2001), wadah yang digunakan untuk budidaya cacing
sutra ini adalah parit beton atau kotak dari kayu dengan lebar 50 cm panjang
5-10 m dan tinggi 20-30 cm yang dilapisi plastik.
Media pemeliharaan dapat berupa dedak, kotoran ayam dan ampas
tahu asalkan kondisinya sudah halus. Fungsinya sebagai sumber makanan bagi
cacing sutra (Khairuman dan Amri, 2008).
2.
Bahan Pakan Meliputi
2.1.
Dedak
Dedak merupakan hasil sisa dari penumbukan atau
penggilingan gabah padi. Memiliki kandungan
protein 9,84%, karbohidrat 37,64% dan lemak 6,8% (Liviawati dan Afriyanto,
2005).
2.2.
Tepung Ikan
Tepung ikan merupakan unsur
penting dalam pakan yang digunakan sebagai sumber protein hewani dan mineral,
terutama kalsium dan fosfor. Tepung ikan
memiliki kandungan asam – asam amino yang tinggi dan
memiliki kandungan protein 48,23%, karbohidrat 3,81%, lemak 6,8% (Liviawati dan
Afriyanto, 2005).
2.3.
Ampas Tahu
Ampas tahu merupakan limbah industri pabrik tahu yang dihasilkan dari
sisa pengolahan kedelai menjadi tahu. Memiliki
kandungan protein 21,23%, karbohidrat 18%
dan lemak 16.22% (Liviawati dan
Afriyanto, 2005).
3.
Fermentasi
Fermentasi
adalah proses produksi energi dalam sel dalam
keadaan anaerobik (tanpa oksigen).
Perubahan kimia atau subtrat organik terjadi dalam proses fermentasi. Perubahan
itu terjadi karena aksi katalisator biokimia yaitu enzim. Menurut Winarno
(1980) bahwa, fermentasi dapat terjadi karena adanya aktifitas mikroba penyebab
fermentasi pada subtrat yang sesuai.
Energi
dalam pakan dapat dimanfaatkan setelah pakan tersebut dirombak menjadi komponen
yang sederhana yaitu proses fermentasi. Fermentasi pada pakan dapat dilakukan
dengan menggunakan larutan aktivator salah satunya adalah ragi (yeast). Proses
fermentasi akan menyederhanakan partikel bahan pakan, sehingga akan
meningkatkan nilai gizinya. Bahan pakan yang telah mengalami fermentasi akan
lebih baik kualitasnya dari bahan bakunya. Fermentasi ampas tahu dengan ragi
akan mengubah protein menjadi asam-asam amino, dan secara tidak langsung akan
menurunkan kadar serat kasar ampas tahu (Daelami dan Lesmana, 2009).
4. Hubungan Komposisi Bahan Pakan (Dedak,
Tepung Ikan, Ampas Tahu) Terhadap Pertumbuhan Populasi Cacing
Sutra
Kesuburan media tidak terlepas dari
keseimbangan faktor biologi, fisika dan kimia. Ketiga unsur tersebut saling
berkaitan dan sangat menentukan tingkat kesuburan pada media. Dengan penambahan
komposisi bahan pakan (dedak, tepung ikan dan ampas tahu) maka akan mempengaruhi ketersediaan bahan organik pada
media. Tingginya bahan organik pada media akan meningkatkan jumlah bakteri dan
partikel organik hasil dekomposisi oleh bakteri sehingga dapat meningkatkan
jumlah bahan makan pada media yang dapat mempengaruhi pertumbuhan popupasi
cacing sutra (Syarip, 1988).
5. Kebutuhan Lingkungan Cacing Sutra
Kualitas
media hidup bagi cacing sutra memerlukan kondisi media yang sesuai dengan
kondisinya di alam, salah satunya oksigen, pH, suhu, kandungan nutrien,
nitrogen dan karbon yang mencukupi agar mendukung bagi kelangsungan hidup
cacing sutra. Untuk mendapat kondisi yang sesuai bagi kelangsungan hidup cacing
sutra maka diperlukan kisaran suhu yang optimal. Cacing ini memiliki toleran
terhadap pH antara 5,5-7,5 dan 6,0-8,0 (Whitley, 1968). Oksigen terlarut dalam
suatu perairan dapat berpengaruh terhadap kelangsungan hidup cacing sutra dalam
media uji. Pada masa embrio cacing sutra membutuhkan oksigen berkisar antara
2,5-7,0 ppm. Apabila kandungan oksigen rendah disuatu perairan kurang dari 2
ppm, maka bisa menghambat aktivitas makan dan reproduksi cacing sutra. Jika
kadar oksigen mencapai lebih dari 3 ppm dapat meningkatkan populasi cacing
sutra (Marian dan Pandian).
6.
Hubungan Populasi dengan Parameter Kualitas Air
Pada
proses dekomposisi bahan organik mikroba memanfaatkan bahan organik sebagai
sumber makanan dalam suatu rangkaian reaksi yang kompleks.
Pada
proses ini melibatkan enzim untuk mempercepat reaksi atau sebagai katalisator.
Proses
respirasi oksigen diperlukan untuk mengoksidasi bahan organik oleh
mikroorganisme. Beberapa faktor yang mempengaruhi oksidasi bahan organik yaitu
suhu, setiap kenaikan suhu 10 OC akan meningkatkan proses
dekomposisi dan kosumsi oksigen menjadi dua kali lipat. pH, proses dekomposisi
bahan organik akan berlangsung lebih cepat pada kondisi pH netral dan alkalis.
Pasokan oksigen, proses dekomposisi secara aerob memerlukan oksigen secara
terus-menerus. Kadar oksigen yang rendah pada perairan akan membahayakan
organisme akuatik karena akan meningkatkan toksisitas (Effendi, 2003).
Oksigen
terlarut dibutuhkan oleh semua jasad hidup untuk pernapasan, proses metabolisme
atau pertukaran zat yang kemudian menghasilkan energi untuk pertumbuhan dan
pembiakan. Disamping itu, oksigen juga dibutuhkan untuk oksidasi bahan-bahan
organik dan anorganik dalam proses aerobik (Salmin, 2000).
Bahan
organik merupakan hasil pembusukan tumbuhan dan hewan yang telah mati atau
hasil buangan dari limbah domestik dan industri (Wardoyo, 1995). Pemecahan
bahan organik diartikan bahwa bahan ini digunakan oleh organisme sebagai bahan
makanan dan energinya diperoleh dari proses oksidasi (Pescod, 1973).
BAB IV
KESIMPULAN
Tubifex merupakan salah
satu jenis pakan alami ikan yang hidup didasar perairan tawar. Tubifex ini
biasanya ditemukan pada dasar perairan yang mengalir dan banyak mengandung
bahan organik. Tubifex mudah untuk
dikenali dari bentuk tubuhnya yang seperti benang sutra dan berwarna merah
kecoklatan karena banyak mengandung haemoglobin. Tubuhnya sepanjang 1-2 cm,
terdiri dari 30 – 60 segmen atau ruas.
Kisaran kualitas air yang diukur pada setiap
media masih dalam kisaran yang dapat ditolerir oleh cacing sutra karena, media
selalu dialiri air yang digunakan
sebagai suplay oksigen serta untuk mengurangi kadar amoniak (NH3).
Sumber amoniak di media penelitian berasal dari
hasil pemecahan nitrogen organik (protein dan urea) dan nitrogen
anorganik yang terdapat dalam pakan uji, tanah dan air, juga berasal dari
dekomposisi bahan organik (tumbuhan dan biota akuatik yang mati). Kadar amoniak
di media kultur akan meningkat seiring dengan meningkatnya pH dan suhu.
Peningkatan suhu
mengakibatkan viskositas, reaksi kimia, evaporasi dan volatilisasi. Peningkatan
suhu juga menyebabkan penurunan kelarutan gas dalam air. Selain itu, peningkatan suhu menyebabkan
peningkatan kecepatan metabolisme dan respirasi organisme air, dan selanjutnya
mengakibatkan peningkatan kosumsi oksigen. Peningkatan suhu juga menyebabkan
terjadinya peningkatan dekomposisi bahan organik oleh mikroba (Effendi, 2003).
Tingginya bahan organik
dimedia dipengaruhi oleh jumlah pakan yang diberikan sehingga kebutuhan pakan
bagi cacing sutra terpenuhi. Secara umum, pemberian bahan organik dapat
meningkatkan pertumbuhan dan aktivitas mikroorganisme. Mikroorganisme tanah
saling berinteraksi dengan kebutuhannya akan bahan organik karena bahan organik
menyediakan karbon sebagai sumber energi untuk tumbuh. Kegiatan jasad mikro
dalam membantu dekomposisi bahan organik meningkat. Bahan organik yang
ditambahkan kedalam media akan dicerna oleh berbagai jasad renik yang ada dalam
tanah dan selanjutnya didekomposisi jika faktor lingkungan mendukung terjadinya
proses tersebut (Pescod, 1973).
Selain itu bakteri
pengurai (dekomposer) juga memerlukan oksigen, nitrogen dan fosfor untuk
melakukan kegiatannya. Bahan–bahan tersebut diambil oleh bakteri dari
lingkungan dan bahan mentah yang mengandung unsur–unsur persenyawaan seperti
nitrat, nitrit dan phosphat. Proses biokimia terjadi akibat adanya penguraian
mikroba/bakteri aerob yang menggunakan oksigen untuk mengurai bahan organik.
Senyawa
organik + O2 + mikroba + N + P mikroba baru+ H2O + CO2 + NH3
Nitrit (NO2)
ditemukan dalam jumlah yang sangat sedikit di media, kadarnya lebih kecil dari
pada nitrat karena nitrit bersifat tidak stabil jika terdapat oksigen.
Unsur phospat merupakan
unsur esensial untuk pertumbuhan algae dan organisme biologi perairan lain,
maka kelebihan unsur P dalam perairan dapat mengakibatkan eutrofikasi dan dapat
menurunkan kadar oksigen terlarut sampai nol ppm sehingga akan mempengaruhi
pertumbuhan cacing sutra.
DAFTAR
PUSTAKA
Anonim. 2007.
www. Maswira, Blog spot, com. Senin, 2007 Desember. Hal 1
Chumadi
dan Suprapto. 1986. Pengaruh Berbagai Takaran Pupuk Kotoran Ayam Terhadap
Perkembangan Populasi Tubifex sp. Balai Penelitian Perikanan Air Tawar.
Depok, Bogor. 8 hal.
Daelami
dan Lesmana, S, D. 2009. Panduan Lengkap Ikan Hias Air Tawar Populer. PT Penebar
Swadaya. Jakarta. 267 Hal
Departemen
Pertanian. 1992. Pedoman Teknis Budidaya. Jakarta. 87 Hal
Effendi,
Hefni. 2003. Telaah Kualitas Air. Kanisius. Yogyakarta
Fadilah,
R. 2004. Pertumbuhan Biomassa Cacing Sutera (Limnodrillus) Yang Dipupuk
Dengan Kotoran Ayam Yang Di Fermentasi. Skripsi Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan. Intitut Pertanian Bogor.
Febrianti, D. 2004. Pengaruh Pemupukan Harian dengan Kotoran
Ayam Terhadap
Pertumbuhan Populasi dan Biomassa Cacing Sutera
(Limnodrillus).Skripsi. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut
Pertanian Bogor.
Gusrina. 2008. Budidaya Ikan Jilid
2. Direktorat Pengembangan Sekolah Menengah Kejuruan. Direktorat Jendral
Pendidikan Dasar dan Menengah. Departemen Pendidikan Nasional.
Hanafiah,
K, A. 2005. Rancangan Percobaan. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta. 259 Hal
thx sob., materiny w ambil y buat tugas w...
BalasHapusThx, materinya mendasar dan jelas. Sangat membantu
BalasHapus